Kisah Palestina Saat Kepemimpinan Kaisar Ottoman

Kisah Palestina Saat Kepemimpinan Kaisar Ottoman
Sumber :
  • HistoryMaps

GadgetPalestina menandai titik temu sejarah yang menarik dan penuh konflik. Sebagai wilayah yang memanjang di antara Asia dan Afrika, ia menjadi panggung utama pertarungan kekuatan.

Hingga saat ini, bumi yang menjadi penghubung antara dua benua itu terus disaksikan oleh perseteruan antara Israel dan Palestina.

Kisah sejarah merunut akar konflik antara Israel dan Palestina hingga ke masa Mandat Britania di Palestina.

Wilayah ini terbentuk setelah kejatuhan Kekaisaran Ottoman pasca-Perang Dunia I, di mana bangsa Arab merindukan kemerdekaan dari cengkeraman Turki.

Untuk memahami gambaran Palestina saat masih berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman, kita harus kembali ke era Abad Pertengahan. Setelah Perang Salib berakhir pada tahun 1302, Kesultanan Mamluk mendominasi Palestina.

Pemerintahan Mamluk mendukung program-program pendidikan, tempat peristirahatan bagi peziarah, serta upaya renovasi bangunan.

Namun, meskipun demikian, pusat pemerintahan Palestina tidak berada di Yerusalem. Mamluk menjadikannya sebagai bagian dari distrik Damaskus.

Pada abad ke-15, Palestina masih menjadi sasaran rentan. Serangan-serangan dari Kekaisaran Mongol Timuriyah di Persia dan Asia Tengah mengancam Damaskus, ibu kota distrik, meskipun Palestina sendiri berhasil terhindar dari serangan tersebut.

Kematian Timur Lenk pada tahun 1405 tidak mengakhiri ancaman bagi Mamluk; sebaliknya, sebuah kekuatan baru muncul dari Barat.

Kesultanan Rum Seljuk runtuh, memberikan jalan bagi Kekaisaran Ottoman untuk mengambil alih. Kekaisaran Anatolia ini terkenal karena berhasil memperluas wilayahnya ke Eropa Timur.

Meskipun demikian, Mamluk tidak bisa dianggap sebagai kekuatan yang lemah. Mereka berhasil bertahan dari serangan Mongol dan pasukan Kristen Eropa selama periode Perang Salib yang berkepanjangan.

Pertemuan antara dua kekuatan Islam yang kuat ini terjadi pada tahun 1485, di mana Mamluk yang dipimpin oleh Sayfuddin Qaitbay berhadapan dengan Kekaisaran Ottoman yang dipimpin oleh Selim I, putra dari Mehmed II.

Kemenangan Ottoman dalam Pertempuran Marj Dabiq pada Agustus 1514 memastikan pengambilalihan Palestina dari tangan Mamluk.

Kehadiran Kekaisaran Ottoman di Palestina

Awal kedatangan Kekaisaran Ottoman di Palestina tidak mengakibatkan perubahan besar. Pusat administrasi tetap berada di Damaskus, kemudian pindah ke Acre (sekarang Akko, Israel), dan akhirnya ke Sidon, yang kini merupakan bagian dari Lebanon.

Kekaisaran Ottoman memberikan perlindungan yang kuat bagi Palestina. Ketika Napoleon Bonaparte mencoba menaklukkan Mesir pada tahun 1799, Kekaisaran Ottoman, dengan dukungan Inggris, berhasil mempertahankan Palestina.

Keberhasilan tersebut mendorong Mesir untuk berperan aktif di Palestina. Di sana, Muhammad Ali Pasha, penguasa Mesir yang kuat, bersama putranya, Ibrahim Pasha, memulai serangkaian reformasi untuk memodernisasi wilayah tersebut dengan memperkenalkan pengaruh Barat.

Langkah modernisasi ini juga dipercepat oleh upaya reformasi yang dilakukan oleh Sultan Ottoman Mahmud II (berkuasa 1808-1839).

Perubahan ini membuka pintu bagi modernisasi dan pluralisme di Palestina. Berbagai misionaris Kristen mulai beraktivitas lebih bebas, termasuk mendirikan sekolah.

Namun, pengaruh Muhammad Ali Pasha di wilayah Palestina semakin kuat, hampir seolah-olah dia sedang membangun negara yang independen. Kekuasaannya yang semakin membesar memicu perlawanan terhadap kekuasaan Ottoman.

Pada tahun 1831, Muhammad Ali Pasha berhasil menduduki Palestina, yang saat itu berpusat administrasi di Acre. Bersama putranya, Ibrahim Pasha, dia memulai proses modernisasi yang melibatkan pengaruh Barat.

Meskipun pada tahun 1840, Kekaisaran Ottoman, bersama Inggris, Austria, dan Rusia, memaksa mundur Mesir, Palestina tetap di bawah kendali langsung dari Konstantinopel.

Reformasi Ottoman

Setelah Palestina kembali ke pangkuan Kekaisaran Ottoman pada tahun 1840, Sultan Abdul Majid mulai menerapkan reformasi bertahap di wilayah tersebut.

Salah satu reformasi penting adalah pengenalan Undang-Undang Pertanahan pada tahun 1858, yang mendorong kepemilikan pribadi, pertumbuhan pertanian, pengurangan struktur berbasis etnis, dan peningkatan populasi.

Reformasi ini membuka jalan bagi gerakan zionis yang bertujuan menguasai Palestina. Kepemilikan tanah pribadi yang semakin meningkat menjadi dasar bagi wacana pendirian negara Yahudi pada tahun 1896. Imigrasi besar-besaran Yahudi, terutama dari Rusia, pada tahun 1882, memperkuat pemukiman Zionis.

Kekaisaran Ottoman melakukan pembagian administratif yang lebih matang pada tahun 1888, membagi Palestina menjadi tiga distrik: Nablus, Acre, dan Yerusalem. Nablus dan Acre berada di bawah administrasi provinsi Beirut, sementara Yerusalem dikelola secara otonom oleh Konstantinopel.

Kebangkitan Nasionalisme Arab dan Gerakan Zionis

Masuknya abad ke-20 menyaksikan gelombang nasionalisme Arab di seluruh Kekaisaran Ottoman, yang menginginkan kemerdekaan. Ketika Perang Dunia I meletus, negara-negara Eropa berencana membagi-bagi wilayah Timur Tengah, termasuk Palestina, sesuai dengan Perjanjian Sykes-Picot pada tahun 1916.

Bangsa Arab berharap pada Inggris untuk mendukung gerakan nasionalisme mereka. Mereka percaya bahwa janji kemerdeka

an yang diumumkan dalam korespondensi antara Amir Makkah Husain bin Ali dan komisaris Inggris di Mesir, Henry McMahon, akan dipenuhi.

Dengan kekuasaan Kekaisaran Ottoman semakin terkikis, Inggris mengambil alih kendali Palestina sesuai dengan Perjanjian Sykes-Picot. Ini membuka pintu bagi perkembangan konflik yang tak berkesudahan di Palestina.

Deklarasi Balfour pada tahun 1917, yang mendukung migrasi besar-besaran orang Yahudi dari Eropa dan Amerika Serikat ke Palestina, semakin memperumit situasi.

Sejak awal abad ke-20, imigrasi besar-besaran orang Yahudi dari Eropa ke Palestina telah memicu ketegangan dengan penduduk Arab setempat.

Kolonisasi Yahudi yang semakin meluas didukung oleh dana besar dari keluarga Rothschild pada tahun 1918, yang menyebabkan ketegangan sosial antara komunitas Yahudi dan Arab.

Permainan dua kaki Inggris antara pihak Arab dan gerakan Zionis semakin memperumit situasi.

Sejarawan politik percaya bahwa Deklarasi Balfour sebagian dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan Yahudi Amerika dan Rusia bagi kebijakan Inggris di masa pasca-perang.

Pendirian Mandat Britania di Palestina pada tahun 1920, setelah kejatuhan Kekaisaran Ottoman, menandai babak baru konflik yang terus berlangsung hingga saat ini.

 

Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di :
Instagram @gadgetvivacoid
Facebook Gadget VIVA.co.id
X (Twitter) @gadgetvivacoid
Whatsapp Channel Gadget VIVA
Google News Gadget