Kedaulatan Digital, Haruskah RI Tiru China?
- Unsplash.com
Gadget – Kementerian Kominfo menggaungkan rencananya agar Indonesia mencapai Kedaulatan Digital agar tidak terbentuk kolonialisasi baru. Banyak yang menyebut jika Indonesia bisa saja mencontoh ketegasan China yang disebut-sebut telah berdaulat secara digital.
Pengamat dari ICT Institute, Heru Sutadi menyebut jika bisa saja kita mencontoh Kedaulatan Digital yang telah dicapai China. Saat ini, negara tersebut telah mampu berdaulat, dalam artian tidak bergantung dengan aplikasi asing dalam memudahkan kehidupan mereka sehari-hari.
"Suatu saat kita bisa seperti China, bisa mengatakan 'bodo amat' ketika pemerintah melakukan blokir aplikasi, misalnya. Karena China tidak bergantung, mereka mampu mendorong dan memajukan aplikasi buatan bangsa mereka sendiri. Itu yang harusnya dilakukan pemerintah, memberikan dukungan kepada perusahaan teknologi anak bangsa," ujar Heru, saat menjadi pembicara di acara Gizmotalk: Tantangan Membangun Kedaulatan Digital di Indonesia yang digagas Gizmologi.id, Kamis, 18 Agustus 2022.
Menurut Heru, pemerintah seharusnya memberikan dukungan penuh kepada perusahaan lokal untuk bisa mengembangkan aplikasi buatan sendiri. Bukan sebaliknya. Menurut Heru, pemerintah terlalu memanjakan perusahaan asing namun bersikap sebaliknya kepada perusahaan lokal.
"Perusahaan asing diberi insentif. Kemudian komunikasi antarlembaga juga tidak sinkron. Ketika Kominfo memblokir aplikasi asing, Kemenkeu malah bilang aplikasi tersebut memiliki dampak ekonomi. Dulu juga pernah, saat ingin menekan Blackberry agar mau memenuhi aturan di tanah air, pihak keluarga Istana malah ada yang memperlihatkan ketergantungan pada Blackberry. Ini yang harus diubah," kata Heru.
China memang diketahui sebagai negara yang represif. Namun, menurut Heru, Indonesia tidak harus meniru cara represif China melainkan sisi positif lainnya dalam membentuk kedaulatan negara. Hal ini juga sama dengan apa yang dikatakan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda. Menurutnya, Indonesia bisa mencontoh yang baik-baik dari China.
"Kita ambil yang baik-baiknya saja, buang yang buruk," kata Nailul.
Diketahui, saat ini China telah memiliki Search Engine sendiri bernama Baidu yang hampir sama dengan Google Search. Sedangkan media sosial, mereka juga sudah cukup berjaya dengan TikTok dan Douyin, serta instant messaging pun mereka punya sendiri.
Di sisi lain, menurut Devie Rahmawati, Tenaga Ahli Menteri Kominfo, pihaknya lebih memfokuskan diri pada literasi digital pengguna internet di Indonesia. Salah satunya dengan mengedukasi para pengguna internet di tanah air agar tidak terjebak dalam 'permainan' yang bersifat social engineering.
Menurut Devie, berdasarkan data yang ia miliki, social engineering merupakan rekayasa yang melibatkan ketidakpahaman masyarakat. Penipuan macam ini paling banyak memakan korban dan mendominasi kejahatan di dunia siber.
"Kerugiannya juga tidak main-main. Tahun 2020, tercatat kerugian ada sekitar Rp114 triliun. Ada dana pensiun, tabungan haji, dan sebagainya yang hilang begitu saja dicuri akibat kesadaran literasi digital tidak dimiliki masyarakat. Maka dari itu, kami mencoba memperbaiki dasarnya dulu," ujar Devie dalam pemaparannya.
Upaya Kominfo tersebut sudah dilakukan dan sampai saat ini masih berjalan. Pasalnya, dipaparkan Devie, Presiden Jokowi sendiri yang memerintahkan untuk mencapai target setidaknya 10 juta warga melek literasi digital. Namun program edukasi ini tidak akan terhenti di satu generasi. Banyak yang berpikir jika Gen Z adalah kaum yang melek dunia digital. Anak gen Z justru generasi paling baru yang juga paling abai terhadap sekuriti. Ini paling berbahaya karena merasa paling tahu, justru paling rentan.
"Kemkominfo memiliki Program Indonesia Cakap Digital yang dilakukan secara berjenjang kepada masyarakat umum. Targetnya setiap tahun ada 10 juta orang. Jadi minimal di 2024 sudah 50 juta orang yang sudah teredukasi. Program ini sifatnya cepat, perlu bergerak bersama," ujar Devie.
Namun menurut Nailul, ketimpangan digitallah yang harus diperbaiki di Indonesia dalam mencapai kedaulatan digital selain juga Perlindungan Data Pribadi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dan negara. Selain bisa menjadi kerangka regulasi yang lebih kuat dan komprehensif, PDP juga bisa menciptakan keseimbangan dalam tata kelola pemrosesan data pribadi dan jaminan perlindungan hak subjek data. Bahkan bisa menjadi instrumen hukum untuk mencegah dan menangani kasus pelanggaran data pribadi
"Tidak dipungkiri jika PDP bisa mempercepat pembangunan ekosistem ekonomi digital, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang haknya sebagai subjek data, dan menciptakan keseteraan dalam aturan perlindungan data pribadi di tingkat global," katanya.
Sedangkan di sisi Heru, antangan Kedaulatan DIgital yang utama adalah infrastruktur yang lambat, selain membangun ekosistem digital, digital talent, dan keamanan digital atau Perlindungan Data Pribadi.
Oleh karena itu, Heru berharap ada perubahan cara pandang terhadap sektor teknologi informasi dan komunikasi khususnya keberpihakan terhadap pelaku utama ekonomi digital. Termasuk juga Pengaturan dan penataan kembali seluruh landscape industri digital, dengan tujuan mentransformasikan pembangunan untuk mensejahterakan dan memenangkan rakyat Indonesia di era ekonomi digital.
"Intinya kita bisa bersama-sama merumuskan masterplan pembangunan digital Indonesia 2025-2030, yang intinya Broadband For All dan pemanfaatan ICT untuk pembangunan manusia. Kita bisa bersama-sama membangun ekosistem digital Indonesia," ujar Heru.